Zara Yupita Azra, salah satu terdakwa dalam kasus perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, akhirnya buka suara. Di hadapan majelis hakim, ia membantah punya niat untuk merundung juniornya, dr Aulia Risma, yang kini telah tiada. Menurutnya, semua perkataan kasar yang pernah ia lontarkan muncul karena tekanan dari sistem senioritas yang berlaku di lingkungan pendidikan tersebut.
Sistem Senioritas yang Bikin Tertekan
Zara mengaku saat itu dirinya berada di semester dua, posisi yang cukup rentan karena sering kali harus menerima hukuman atas kesalahan mahasiswa semester satu. Ia menjelaskan bahwa sistem PPDS Anestesi Undip terbagi dalam tujuh jenjang, mulai dari julukan “kuntul” untuk mahasiswa baru, hingga “dokter penanggung jawab pelayanan” (DPJP) di tingkat akhir.
Zara merasa bahwa perannya sebagai “kambing” atau kakak pembimbing memang mengharuskannya untuk memberi tekanan kepada junior sebagai bagian dari “uji mental.” Tapi ia menegaskan, semua itu dilakukan hanya karena menjalankan peran, bukan karena dendam atau benci.
Baca Juga:
Andre Taulany: “Anak Gue Bukan Saksi Sidang!”
Ari Lasso dan Dearly Resmi Go Public, Netizen Heboh!
Isi Chat yang Menjadi Bukti
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun membacakan isi pesan dari grup WhatsApp yang dikirim Zara kepada angkatan dr Aulia. Dalam pesan itu, Zara menggunakan nada ancaman dan mengaku siap “memersulit hidup” junior-juniornya jika mereka terus melakukan kesalahan.
Ketika ditanya, Zara tidak membantah. Ia mengakui bahwa saat itu dirinya sudah sangat lelah secara fisik dan emosional. Menurutnya, kesalahan yang dilakukan junior sudah berulang kali terjadi, meski mereka telah dibimbing dengan cara baik.
Dalam sidang lanjutan, Zara tak kuasa menahan air mata saat jaksa menanyakan soal kondisi mental dan tekanan yang ia alami selama mengikuti pendidikan. Ia menyebut bahwa beban kerja yang berat, jam kerja panjang, dan tekanan dari senior membuatnya mengalami kelelahan yang luar biasa. Ia merasa bahwa semua reaksi negatif yang keluar darinya adalah akibat dari kondisi emosional yang tidak stabil.
Latar Belakang Kasus Zara Yupita Azra
Kasus ini mencuat setelah wafatnya dr Aulia, yang diduga menjadi korban perundungan dalam sistem pendidikan PPDS tersebut. Ibu almarhum melaporkan sejumlah senior ke pihak berwajib. Seiring penyelidikan berjalan, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka: Taufik Eko Nugroho, Sri Maryani, dan Zara Yupita Azra.
Kementerian Kesehatan bahkan mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara kegiatan pendidikan PPDS Anestesi di RSUP Kariadi, tempat para peserta didik menjalani praktik.
Baca Juga:
Resmi! Tom Lembong Bebas Usai Dapat Abolisi dari Presiden
Riduan Resmi Jadi Direktur Utama Bank Mandiri, Ini Profilnya
Kasus ini membuka mata banyak orang bahwa dunia pendidikan, bahkan di kalangan profesional sekalipun, masih menyimpan potensi kekerasan psikologis yang tak terlihat dari luar. Tekanan sistem, tradisi senioritas, dan lemahnya pengawasan bisa menjadi bom waktu. Semoga peristiwa ini jadi pelajaran bersama bahwa pendidikan seharusnya membentuk karakter dan empati—bukan menormalisasi kekerasan dalam bentuk apa pun.