Penelitian otak selama ini sering kali mengaitkan kepribadian, gaya berpikir, atau keterampilan dengan dominasi otak kiri atau otak kanan. Pierre Paul Broca, seorang ilmuwan Prancis, pertama kali menghubungkan kemampuan berbicara dengan otak kiri. Namun, pandangan ini dianggap keliru oleh Dr. Ryu Hasan, seorang Pakar Neurosains asal Indonesia.
Baca juga: Rahasia Kopi: Dari Olimpiade Hingga Overdosis
Dr. Hasan menegaskan bahwa meskipun penelitian Broca bermanfaat, pandangan perbedaan dominasi otak perlu disesuaikan. Penelitian oleh Dr. Jeffrey Anderson dari Universitas Utah pada 2013 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dominasi otak yang signifikan. Stephen M. Kosslyn dari Harvard juga menyatakan bahwa kedua bagian otak bekerja sama dalam memproses detail dan bentuk.
Menurut Founder dan CEO Zenius, Sabda PS, otak berfungsi sebagai kesatuan. Meskipun ada bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi tertentu, otak bekerja bersama. Sebagai contoh, seorang pelukis menggunakan otak kanan untuk memproses warna, tetapi otak kiri juga diperlukan untuk menggerakkan tangan.
Persepsi ini dapat menghambat eksplorasi keterampilan baru, seperti seseorang “otak kanan” yang enggan mempelajari matematika karena dianggap lebih sesuai untuk otak kiri. Mitos ini juga dapat memengaruhi keputusan pendidikan, menyebabkan menghindari mata pelajaran tertentu.
Baca juga: 5 Manfaat Mendengarkan Musik Bagi Tubuh dan Jiwa
Kesimpulan
Sabda menekankan pentingnya growth mindset untuk meraih potensi penuh diri. IQ dapat ditingkatkan, karakter dibangun, dan segala kemampuan dapat dilatih. Daripada terperangkap dalam stereotip otak kanan atau otak kiri, fokus pada growth mindset memungkinkan pengembangan diri yang lebih luas. Kesimpulannya, otak bekerja secara bersamaan sebagai kesatuan, menunjukkan bahwa lebih baik fokus pada growth mindset daripada terperangkap dalam stereotip otak kiri atau otak kanan.