Ribka Tjiptaning, salah satu petinggi di PDI Perjuangan, menyebut peristiwa 27 Juli 1996—yang dikenal sebagai Kudatuli—adalah pemicu awal lahirnya reformasi di Indonesia. Menurutnya, kalau tragedi itu tak terjadi, mungkin reformasi 1998 pun tak pernah ada.
Hal ini ia sampaikan dalam acara peringatan Kudatuli yang diadakan di kantor pusat PDI Perjuangan, Jakarta Pusat. Acara tersebut diisi dengan tabur bunga dan doa bersama sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah perjuangan partai.
Ribka Tjiptaning: Mimpi Reformasi Belum Usai
Ribka juga menyoroti bahwa perjuangan reformasi belum benar-benar selesai. Menurutnya, masih banyak mimpi yang belum terwujud. Ia juga mengingatkan agar kader PDI Perjuangan tidak melupakan sejarah perjuangan partai, dan tetap kuat membangun kekuatan dari akar rumput.
Ia menegaskan bahwa reformasi sejauh ini masih jadi impian yang belum sepenuhnya nyata. Tapi ia percaya, para kader tak boleh cengeng atau menyerah—justru harus makin solid seperti saat Megawati dulu didukung rakyat dengan penuh semangat.
Baca Juga:
Balik Jadi WNI? Eks Marinir Satria Arta Bikin Geger
Hasto Divonis 3,5 Tahun, Katanya Sudah Bisa Tertawa Lega
Ribka Tjiptaning: Tak Ada Kudatuli, Tak Ada Jokowi?
Sayangnya, masih banyak yang belum tahu apa itu Kudatuli, atau makna dari Jalan Diponegoro No. 58—alamat sakral kantor pusat partai yang jadi saksi bisu perjuangan. Ribka menekankan pentingnya kader memahami sejarah agar tidak hanya menikmati kemenangan, tapi juga menghargai proses berdarah-darah di baliknya.
Dalam pidatonya, Ribka juga menyampaikan pendapat menarik—bahwa tanpa peristiwa 27 Juli, mungkin tak akan ada anak tukang kayu yang bisa jadi presiden. Tidak ada anak buruh yang bisa duduk di DPR. Menurutnya, Kudatuli membuka jalan bagi rakyat kecil untuk punya suara dan kesempatan memimpin.
Meski kemudian ia menyentil bahwa kondisi sekarang sudah “error”, ungkapan itu lebih ke arah refleksi pribadi terhadap realita politik saat ini.
Reaksi dan Balasan dari Pihak Lain
Pernyataan Ribka soal anak tukang kayu jadi presiden (yang mengarah ke Jokowi) langsung mendapat respon dari pihak lain, salah satunya dari Freddy Damanik, Wakil Ketua Umum Projo. Ia menyatakan bahwa kalau logikanya seperti itu, maka tak akan ada juga Presiden Megawati tanpa Kudatuli.
Freddy menilai bahwa komentar Ribka soal presiden sekarang yang sudah “error” hanyalah bentuk kekecewaan pribadi. Ia bahkan menyarankan agar Ribka belajar move on dan introspeksi, apakah PDI Perjuangan masih benar-benar jadi rumah bagi rakyat kecil seperti dulu?
Soal Target 7 Persen: Salah Hitung!
Ribka juga sempat menyebut ada pihak yang ingin menjatuhkan PDI Perjuangan dengan menargetkan suara partai hanya 7 persen di Pemilu 2029. Ia menanggapi hal itu dengan santai tapi tajam: “Mereka salah hitung.”
Menurutnya, setiap kali PDI Perjuangan ditekan atau diserang, partai justru semakin kuat dan solid. Ia mengingatkan, jangan remehkan banteng yang terdesak—karena justru saat itulah mereka menguat.
Ribka juga menyinggung bahwa tekanan terhadap partainya kini mulai terasa melalui jalur hukum. Ia meyakini bahwa upaya hukum yang diarahkan ke Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, sebenarnya adalah serangan terselubung ke Megawati. Menurutnya, hukum kini masih sering dijadikan alat untuk membungkam kekuatan politik tertentu.
Baca Juga:
Hukum Dibeli? Zarof Ricar Buktinya, Tapi Akhirnya Kena Juga!
Siapa di Balik Isu Ijazah Palsu Jokowi? Ini Faktanya!
Kudatuli bukan sekadar kisah masa lalu, tapi jadi pengingat bahwa perubahan besar sering lahir dari luka dan perlawanan. Apa yang terjadi pada 27 Juli 1996 jadi bahan bakar bagi semangat reformasi dan demokrasi. Meski hari ini banyak tantangan baru, sejarah terus berbisik: perjuangan belum selesai, dan banteng tak pernah benar-benar tidur.